PDIP YAKIN HASTO TIDAK BERSALAH, KEADILAN AKAN BERPIHAK PADA HASTO
PDIP YAKIN HASTO TIDAK BERSALAH, KEADILAN AKAN BERPIHAK PADA HASTO

detakpolitik.com, JAKARTA - Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, menyampaikan keyakinan bahwa keadilan akan berpihak pada Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI-P yang kini tengah diadili dalam perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Ucapan Dolfie tersebut disampaikan usai menyaksikan kesaksian ahli pidana dari Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Kamis 5 Juni 2025.
Dolfie menyebut bahwa dalam proses hukum yang menjerat Hasto, terdapat cacat prosedur dan pelanggaran hukum, termasuk soal alat bukti yang ia nilai tidak sah. Ia mengkritisi bahwa sang ahli tidak mampu memberikan kesimpulan tegas terkait keabsahan prosedur hukum tersebut. Lebih lanjut, Dolfie menyatakan optimisme bahwa kebenaran akan terungkap dan keadilan akan berpihak pada Hasto, dengan menyebut bahwa pada pekan berikutnya Hasto memiliki hak untuk menghadirkan ahli a de charge untuk memperkuat posisi pembelaan.
Namun, pernyataan Dolfie yang menggambarkan keyakinan utuh terhadap "ketidakbersalahan" Hasto dan narasi dukungan penuh dari jajaran elite partai, mengundang pertanyaan kritis: apakah ini bentuk pembelaan murni atas asas praduga tak bersalah, atau justru cara sistematis untuk membentuk persepsi publik bahwa proses hukum terhadap Hasto adalah rekayasa? Apakah partai sebesar PDI-P, yang notabene adalah partai penguasa selama dua dekade terakhir, sedang menggerakkan kekuatannya untuk menciptakan semacam tekanan politik terselubung terhadap jalannya hukum?
Sikap PDIP yang terus menampakkan solidaritas kolektif dalam menghadiri sidang demi sidang Hasto, tentu sah-sah saja secara etika kelembagaan. Namun, perlu dicatat bahwa solidaritas politik tidak boleh sampai mengintervensi keadilan atau mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. Ketika nama-nama besar seperti Safaruddin, Nurdin, TB Hasanudin, hingga Adian Napitupulu dan Denny Cagur terus hadir secara fisik di pengadilan, pesan yang ingin dikirim bukan semata empati kolegial, melainkan pesan kekuatan: bahwa Hasto tidak sendiri, dan bahwa PDIP akan tetap pasang badan. Hal ini bisa menjadi sinyal bahaya terhadap independensi hukum dan mental aparat penegak hukum, bila tidak disikapi dengan hati-hati oleh semua pihak.
Lebih jauh, publik tentu masih ingat bagaimana nama Harun Masiku menjadi simbol bobroknya sistem pemilu yang seharusnya bersih dari praktik suap-menyuap untuk mendapatkan kursi di parlemen. Hilangnya Harun sejak tahun 2020 menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga hari ini. Dan ketika nama Hasto muncul sebagai pihak yang diduga berperan aktif menghalangi penyidikan terhadap keberadaan Harun, maka publik pun memiliki hak untuk curiga dan berharap agar pengadilan benar-benar mampu membuka tabir kebenaran, tanpa ditunggangi kepentingan politik.
Adalah keliru bila partai politik seperti PDIP terlalu cepat mengambil posisi sebagai pihak yang "dizalimi" hanya karena aparat hukum menyeret tokohnya ke meja hijau. Lebih tidak bijak lagi jika narasi yang terus dibangun adalah bahwa Hasto adalah korban kriminalisasi, padahal proses hukum masih berjalan dan bukti-bukti masih diuji di pengadilan. Tugas pengadilan adalah membuktikan apakah ia bersalah atau tidak. Tapi upaya PDIP yang terlalu percaya diri bahwa keadilan pasti berpihak pada Hasto tanpa mau membuka ruang bagi kemungkinan bahwa sang sekjen memang bersalah, adalah bentuk keangkuhan politik yang membahayakan moral hukum kita.
Tak ada yang ingin menyaksikan seorang petinggi partai besar harus duduk di kursi pesakitan. Tapi hukum tidak memandang jabatan atau loyalitas partai. Apalagi jika kasus yang disangkakan adalah dugaan menghalang-halangi penegakan hukum dalam kasus yang melibatkan praktik suap politik. Bukankah selama ini PDIP selalu menggadang-gadang diri sebagai partai ideologis, partai yang berpihak pada rakyat, dan partai yang bersih? Maka, akan sangat kontras bila sekarang publik melihat partai tersebut justru menjadi tempat berlindung para tersangka yang tengah berurusan dengan KPK.
Jika memang Hasto tidak bersalah, biarkan pengadilan yang memutuskan. Tapi jangan karena alasan "cacat prosedur" lalu semua substansi perkara dilupakan. Alat bukti yang didapatkan dengan cara yang keliru memang bisa diperdebatkan keabsahannya, namun bukan berarti keseluruhan kasus lalu gugur dengan serta-merta. Tugas pengacara adalah mencari celah hukum, tapi tugas publik adalah menilai integritas. Dan dalam kasus ini, integritas institusi PDIP sedang dipertaruhkan di hadapan rakyat.
Ketika politisi seperti Dolfie menegaskan bahwa kehadiran para elite PDIP di sidang adalah bentuk dukungan moral, kita juga berhak bertanya: apakah dukungan tersebut juga diberikan kepada rakyat kecil yang selama ini menjadi korban kriminalisasi dan ketidakadilan hukum? Apakah semangat bela kolega ini juga diberikan kepada kader partai di bawah yang mungkin dihukum karena mencuri karena lapar, atau karena tak mampu menyewa pengacara? Jika tidak, maka ini bukan solidaritas. Ini adalah kasta hukum yang dipelihara.
Apakah keadilan akan berpihak pada Hasto? Itu tergantung. Jika memang ia tidak bersalah, tentu ia berhak bebas. Tapi jika bukti dan kesaksian membuktikan bahwa ia terlibat aktif mengatur perintangan penyidikan, maka hukum harus ditegakkan meski langit runtuh. Dan bila itu terjadi, PDIP tidak boleh bersembunyi di balik narasi konspirasi, kriminalisasi, atau pembunuhan karakter. Partai harus berani menanggung konsekuensi dari tindakan tokohnya, termasuk bila harus mencabut dukungan politik dan melakukan refleksi besar-besaran.
Jangan sampai rakyat menangkap kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, bahwa siapa yang punya kekuasaan akan selalu mendapat pembelaan, sedangkan rakyat biasa harus menghadapi hukum sendirian tanpa backup politik. Jangan sampai ada kesan bahwa keadilan hanya menjadi barang mewah yang dimonopoli oleh mereka yang memiliki akses dan jaringan.
Hasto masih punya kesempatan membela diri. Proses hukum masih berlangsung. Tapi alangkah lebih elegan bila PDIP juga bersikap terbuka terhadap kemungkinan bahwa salah satu petingginya memang bersalah. Jangan semua dikemas seolah-olah ini adalah skenario jahat dari lawan politik atau pembunuhan karakter dari kekuatan asing. Sebab, jika semua tudingan selalu diarahkan keluar dan tak pernah ada koreksi ke dalam, maka partai ini akan kehilangan satu hal paling berharga dalam demokrasi: kepercayaan publik.
Membela sesama kolega memang bisa menunjukkan loyalitas. Tapi bila dilakukan secara membabi buta, maka itu akan menjelma menjadi pembenaran. Dan pembenaran politik adalah awal dari keruntuhan moral sebuah partai. Jika PDIP benar-benar ingin menjaga wibawa dan integritasnya di mata rakyat, maka sikap terbaik adalah menunggu proses hukum selesai, menghormati keputusan pengadilan, dan tidak mengintervensi opini publik dengan narasi-narasi sepihak yang membutakan.
Rakyat kini menilai, bukan dari seberapa banyak elite hadir di pengadilan, tapi dari seberapa jujur partai ini bisa menghadapi kenyataan bila akhirnya terbukti bahwa salah satu tokohnya memang terlibat dalam kejahatan politik paling kotor: suap dan perintangan penyidikan. Sebab dari sinilah sebenarnya sejarah sebuah partai ditulis: apakah memilih jadi pembela kebenaran, atau jadi penghalang keadilan.
(tams/dp)
Apa Reaksi Anda?






